Rabu, 28 November 2012

Karya Jurnal oleh Arya Sucitra


Transformasi Seni Rupa Bali
Pita Maha ‘Koalisi’ Estetis Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern

Oleh I Gede Arya Sucitra, S.Sn., M.A.


ABSTRACT

Balinese culture is the result of local acculturation and culture that come from outside Bali so it can be a variety of different styles and ornamental mixing can be seen in architecture, dance, clothing to art apparently.
This paper wants to find the spirit of transformation through reading art history art Balinese aesthetics are present in the coalition concept of classical Balinese painting with Western modern art movements compared with the achievement of the Pita Maha significant changes have taken place in the framework of Balinese art, from the technical point of , the introduction of paper media, plywood and canvas that opened up new stylistic opportunities. From the point of thematic, there secularization of representation, no longer has a religious function and contains economic value. Strong influence of modern science seems at the organization of space in the composition, perspective and anatomical consideration. Wayang (shadow puppet) figures did not dominate formal form.
Keywords: Bali Art, Classical Art Kamasan, Puppet, Acculturation, Pita Maha.


A. Pengantar
Pemahaman ragam budaya Bali yang kini berkembang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sejarah Bali masa lampau. Kesenian Bali bertautan erat dengan upacara agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Semua bentuk kesenin di Bali pada mulanya ada kecenderungan untuk menunjang dan mengabadikan kehidupan upacara keagamaan Hindu di Bali. Begitu pula pada kehidupan seni lukisnya yang juga memiliki andil besar terutama dalam upacara-upacara agama Hindu di tempat-tempat pemujaan yang terdapat di seluruh pelosok daerah Bali. Lukisan dianggap sebagai dasar dan bentuk ekspresi kesenian tinggi di Bali. Karya seni tersebut menjadi artefak yang sangat berharga dalam kehidupan ritual dalam tradisi Bali.

Budaya Bali sekarang adalah hasil akulturasi budaya lokal dan budaya yang datang dari luar Bali sehingga dapat dilihat beragam gaya dan ornamentik dari berbagai pencampuran tersebut dapat dilihat pada arsitektur, tarian, pakaian hingga seni rupanya. Mengenai pencampuran kebudayaan ini seperti yang diungkapkan Timbul Haryono bahwa kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat disebut maju atau berkembang, apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru. Tumbuhnya anasir budaya baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu karena ada penemuan ( invensi) atau karena ada pencampuran (akulturasi).[3]
Terjadinya proses akulturasi juga disebabkan oleh karakter masyarakat penyangga kebudayaan tersebut, R.M. Soedarsono berpendapat bahwa masyarakat Bali sangat dikenal sebagai masyarakat yang sangat terbuka, namun juga sangat kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu lebih berciri Bali.[4] Pada titik ini dapat dicermati bahwa dengan ‘keterbukakaan kreatifnya’  masyarakat Bali mampu menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan dengan kekayaan lokal jenius[5] setempat.
Beberapa ahli yang mengkaji hal ini, menegaskan bahwa unsur dari luar menjadi faktor dominan dalam pembentukan budaya Bali. Dijelaskan oleh Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terjemahan R.M Soedarsono bahwa penyebaran ini dibawa langsung oleh para pendeta atau biarawan dari India, dan juga tercampur lewat kontak dengan kerajaan Hindu di Jawa. Hal itu ditambah dengan kontak-kontak dengan Cina dan beberapa daerah di India Belakang (Asia Tenggara) mungkin telah menyumbangkan pembentukan kebudayaan Bali dan seninya.[6] Sedemikian besar pengaruh kebudayaan Hindu Jawa pada kebudayaan Bali khususnya dalam seni lukis.
Menurut data arkeologis, seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari tatanan ideo-religius budaya agraris Hindu-Buddha yang berkembang di Bali sejak paling sedikit abad ke-10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan "ter-India-kan" yang pertama. Sementara seni lukis baru dikenal sekitar abad ke-11, ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan ­oleh Raja Anak Wungsu memberikan tanda-tanda adanya kelompok yang mempunyai kelompok yang mempunyai keahlian melukis. Dalam analisa Jean Counteau, seorang antropolog dari Prancis, ragam budaya Bali pra-penjajahan merupakan pembauran antara unsur pribumi lokal dengan aneka unsur Indo-Jawa, yang terutama masuk menyusul invasi Majapahit tahun 1343. 
Selanjutnya bentuk seni rupa di Bali mengalami perkembangan yang berbeda dengan daerah di Jawa. Bentuk perubahan ini bersifat sebagai penyesuaian terhadap karakter orang Bali yang ekspresif, dengan kasar dalam lelucon serta bersungguh-sungguh; mewah dengan warna-warna emas dan terang: musiknya, walaupun kaya dan melodis, adalah karakteristik eksplosif (meledak-ledak).[7] Dalam pandangan Alvin Boskoff ada dua teori tentang perubahan sosial budaya, yaitu teori-teori eksternal dan internal. Teori eksternal memandang bahwa inti terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh adanya kontak antar-budaya berbeda, sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri.[8] Untuk menguatkan pandangan di atas, William A. Haviland mengemukakan bahwa mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan antara lain adalah akulturasi.[9] Seiring perkembangan kebudayaan dan pengaruh dari luar tersebut, maka berkembang pula teknis penciptaan, bentuk, fungsi dan makna dari lukisan tradisional Bali.
Pokok permasalahan tulisan ini akan melacak perkembangan dan menganalisa proses akulturasi estetis antara seni lukis Bali klasik gaya Kamasan dengan persentuhan pengetahuan seni rupa modern yang diperkenalkan pelancong Barat yang masuk melalui proses kolonisasi penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 sehingga selanjutnya akan ditemukan varian-varian turunan seni rupa di Bali dan dengan segala perbedaan konsep, tema, material lukis hingga teknis penciptaannya. Perpaduan ini kemudian melahirkan seni lukis Pitamaha yang berkembang pesat pada era 1930-an di desa Ubud, Gianyar Bali.

B. Eksistensi Seni Rupa Klasik Bali
Untuk mengetahui perkembangan kesenian di desa Kamasan, dapat diamati pada peninggalan artefak sebagai bukti perjalanan kebudayaan di desa tersebut. Berdasarkan bukti arkheologis yang ditemukan seperti tahta-tahta batu, menhir, lesung batu, palungan batu, monolith yang berbentuk silinder, batu dakon, lorong-lorong jalan yang dilapisi batu kali, ditemukan tersebar di desa-desa Kamasan dan sekitarnya seperti Tojan, dan Gelgel. Hal ini menandakan bahwa, komunitas di sekitar Kamasan berumur cukup tua, serta menunjukkan juga bahwa ketrampilan teknik tradisi megalithik telah mereka kenal sebelum kedatangan pengaruh Hindu. Ketrampilan para undagi dan ke-pande-an yang berasal dan tradisi megalithik ini telah diturunkan kepada generasi berikutnya. Pada jaman Gelgel, oleh raja Gelgel ( Ida Dalem) para pande dimanfaatkan untuk memproduksi benda-benda logam berukir seperti bokor, dulang, pinggan, tempat minum dan benda-benda lainnya yang digunkan sebagai perlengkapan rumah tangga, perhiasan maupun benda-benda perlengkapan  Keraton Suweca Linggaarsa Pura Gelgel. Selain seni ukir berkembang pula seni lukis wayang sebagai hiasan di atas kain yang berupa bendera (Kober, umbul-umbul, lontek), dan hiasan ( ider-ider, tabing dan parba).[10]
Lebih jelas lagi dengan adanya tulisan yang menyebutkan bahwa pada waktu Dalem Ketut Semara Kepakisan (Raja Bali) setelah mengikuti upacara Sradda di Majapahit pada tahun 1362 membawa sekeropak Wayang kesenian. Seni tari topeng dan wayang disebut dengan istilah Parbhyang (Prasasti Benetin bertahun Saka 818 atau 896 Masehi) dan juga istilah Aringgit (pada masa raja Anak Wungsu, 1045-1071 Masehi).[11] Istilah tersebut tidak jauh beda dengan istilah bahasa Jawa halus untuk wayang, juga disebut Ringgit. 
Pada salah satu prasasti itu terdapat goresan bermotif wayang yang menggambarkan ­Batara Siwa. Perkembangan seni lukis ini selanjutnya terlihat nyata pada naskah-naskah ­kuno yang berupa lontar-lontar. Kitab lontar biasanya berisikan cerita legenda ataupun cerita wayang, dengan menggunakan ilustrasi gambar yang selalu tampil indah. Gaya yang dipakai ialah seperti tampak pada pahatan dinding candi zaman Majapahit, yaitu gaya wayang dengan komposisi bidang datar yang padat dan sarat stilisasi.[12] Gaya lukis pada lontar inilah yang rupanya menjadi cikal bakal perkembangan seni lukis Bali klasik. Seni lukis yang dikenal pada waktu itu didominasi oleh genre ‘wayang'; yaitu merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun ikonografinya diturunkan langsung dari kesenian wayang.[13] Seni lukis tradisional yang paling menonjol sampai saat ini di Bali adalah seni lukis klasik gaya Kamasan.[14]
Pelukis-pelukis Kamasan biasanya anonim dan merupakan pusat kesenian tradisional Bali yang berhubungan dengan pahlawan-pahlawan epos seperti Arjuna, Rama, Abimanyu, dan Hanuman. Fokus dari lukisan mereka terutama pemandangan-pendangan atau episode yang membawakan pesan-pesan orang suci, keberanian, kekuatan, peperangan, pembaktian diri dan kebijaksanaan yang banyak terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana. Fungsi dari seni lukis pada waktu itu terutama untuk kepentingan adat, pura dan puri. Seni lukis dipersembahkan untuk hiasan pura, ritual agama, balai adat, serta untuk menghias tempat tinggal raja dan punggawa. Tema lukisan dari cuplikan epos Ramayana, Mahabrata, cerita legenda setempat seperti Malat Panji, Cupak Grantang, Calonarang serta sejumlah cerita tantri lainnya.[15]
Di wilayah Bali Aga di Karangasem, tepatnya di desa Julah, berkembang seni lukis wayang yang bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan seni wayang Kamasan. Di Ubud seni lukis klasik yang berkembang sangat menyerupai seni lukis wayang Kamasan. Sekitar pertengahan abad ke-19 di desa Kerambitan berkembang seni lukis wayang yang menampilkan bentuk dan ekspresi wajah yang kuat dengan pemanjangan pada bentuk kaki dan tangan sehingga menjadi berbeda dengan gaya Kamasan.








Lukisan tradisional/klasik masih merupakan tradisi yang hidup di kalangan seniman-seniman di desa-desa seperti  Kamasan (Klungkung), Amlapura (Karangasem), Krambitan (Tabanan), Nagasepaha (Buleleng), Bedahulu, Pengosekan, dan Sebatu (Gianyar).









Gambar 1. Lukisan gaya Kamasan, “Kematian Abimayu”, akhir abad ke-19, bahan tradisional, 100x106 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 13).







Gambar 2. Karya I Nyoman Mandra, 1972, “The Death of Subali”, tinta Cina dan pewarna alami di kain, 71 x 46.5 cm. (Garrett Kam,1993, 138).






Gambar 3. Gambar Palalintangan (ilmu perbintangan), karya I Gusti Mangku Putu Kebyar, 1991. (Garrett KAM,1993, 35).








Gambar 4. Lukisan dari bagian Palalindon (ilmu mengenai gempa bumi) yang merupakan bagian ilustrasi dari langit-langit Bale Kerta Ghosa, Klungkung. (Garrett Kam,1993, 49).



C. Lahirnya Pita Maha: Koalisi Estetik Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern
Gelombang perubahan pada Seni Rupa Bali pada dekade awal abad ke-20 memasuki dunia baru dengan kedatangan bangsa Barat yang masuk lewat kolonisasi oleh Belanda. Bila dirunut lebih jauh masuknya pengaruh bangsa asing dimulai dengan invasi Belanda di Bali, Belanda sejak awal abad ke-19 berusaha menguasai Bali lewat ikatan-ikatan perjanjian dengan raja-raja dan perorangan atas kekuasaannya. Setelah Belanda melakukan penaklukan raja-raja di Bali pada tahun 1845 hingga 1908 yang kemudian membuka celah perubahan seluruh landasan sosial politik seni rupa prakolonial Bali.[16]
Diberlakukannya politik ekonomi liberal sekitar tahun 1870-an oleh pemerintah Hindia Belanda, mendorong kemakmuran bagi kelompok masyarakat Belanda hal ini menimbulkan beberapa perubahan pada kehidupan kesenian di Bali yang mengalami kecendrungan untuk lebih terbuka dengan banyak hal baru yang dibawa bersama kedatangan bangsa asing. Dampak penaklukan Bali oleh Belanda langsung terasa pada seni rupa. “Pasaran” baru terbuka: produksi bertambah secara drastis melampaui permintaan religius dan kuasi-religius prakolonial. Dan oleh karena "pasaran" tidak lagi membutuhkan simbol-simbol
agama, tema-tema langsung berubah. Selain itu, oleh karena bahan dan alat baru untuk memperkaya teknik melukis dan efektivitas mulai beredar, dinamika stilistik pada karya seniman pribumi dipercepat. Semakin Bali di-bali-kan. Semakin siap dikonsumsi.[17]
Evolusi seni rupa Bali dimulai di Buleleng (Bali Utara), meski menyangkut segi yang sekunder. Pada awal abad ke-19 sudah dibuat gambar dari kertas yang hanya berisi satu adegan saja dan bukan narasi lengkap yang menampilkan serentet aneka adegan naratif.  Pada akhir abad ke-19 di Singaraja, Van Der Tuuk, seorang ahli linguistik Belanda, memesan beberapa gambar pada beberapa informannya, dan gambar tersebut sudah memperlihatkan awal dari strukturasi ruang, menggantikan penempatan unsur ikonik secara sejajar, baik horizontal maupun vertikal. Pada awal abad ke-20 pematung-pematung Buleleng sudah menempatkan unsur tematika baru misalnya orang bersepeda dalam ukiran relief puranya. Hal-hal itu sudah memperlihatkan meresapnya unsur-unsur baru pada tatanan seni rupa Bali.
Pada awal abad ke-20, akhir dasawarsa ’20-an, serta dasawarsa ’30-an, ditengarai terjadi suatu fenomena unik, yaitu intervensi langsung dari seniman Barat yang kelak akan memberikan corak tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali selanjutnya. Mitos Bali sebagai “surga” dengan berbagai macam sebutan eksotisnya seperti Adrian Vickers “ Bali: Paradise Created” mengatakan sebuah pulau ‘surga terakhir’ yang memiliki masyarakat artistik yang harmoni dengan alam, atmosfer hidup yang erotik,….pulau tereksotik dari yang paling eksotik se Asia-Pasifik.[18] Peneliti asing dan juga seorang pelukis, budayawan Meksiko, Miguel Covarrubias juga melakukan penelitian yang sangat detail lengkap dengan ilustrasi gambar tangan dan fotografi terutama mengenai pola hidup, kesenian hingga religi masyarakat Bali dalam buku yang sangat melegenda yaitu “Island of Bali”.[19]
Daya pukau dari Bali yang dieksotikkan oleh citra wisata kaum kolonial tersebut menarik penjelajahan beberapa seniman asing mulai datang dan menetap, hidup dan berinteraksi dengan para seniman lokal di Bali. Dan diantaranya yang paling terkenal dan berproses kreatif bahkan menetap di Bali adalah figur Walter Spies warga Jerman (1895-1942) dan Rudofl Bonnet warga Belanda (1895-1978)[20] yang keduanya akan memainkan peran yang menentukan dalam evolusi seni Bali selanjutnya. Spies datang ke Bali pada tahun 1927 yang disusul setahun kemudian oleh Bonnet.
Spies dan Bonnet tinggal di tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri Ubud, Gianyar. Di dalam situasi tersebut dan sebagai seniman, mereka menyaksikan secara langsung perkembangan seni komersial di atas kemerosotan mutunya. Maka lahirlah gagasan untuk membangun dua lembaga yang mampu membantu mengembangkan kesenian Bali sesuai bentuknya dan menjaganya dari kerusakan pengaruh turisme.
Hal pertama adalah membangun museum Bali yang kini bernama Museum Puri Lukisan berlokasi di Ubud selain sebagai tempat pelestari budaya Bali juga memilih karya-karya terbaik seniman Bali. Kemajuan perupa Bali dibawah asuhan Walter Spies dan Rudolf Bonnet memberikan inisiatif kepada tokoh budayawan dan seniman antara lain Cokorda Gde Agung Sukawati, Walter Spies dan Rudolf Bonnet untuk membentuk perkumpulan dengan nama Pita Maha yang didirikan pada tanggal 29 Januari 1936 di Ubud. Mereka menyebutnya sebagai the spiritual home of modern art.[21]
Figur Walter Spies dan Rudolf Bonnet dianggap ‘guru’ oleh seniman Bali tradisional. Kedekatan antara mereka dengan seniman lokal khususnya Gusti Nyoman Lempad yang merupakan tetangga dari Walter Spies di desa Ubud, menciptakan suasana kreatif estetik. Dimulai dengan pertemanan, lalu mulai melukis dari obyek yang bersamaan mereka mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Seperti yang disampaikan oleh R.M. Soedarsono di atas perihal karakter orang Bali yang sangat terbuka dan kreatif, proses transfer ide dan gagasan dalam menilai karya seni antara seniman asing dan seniman lokal terjadi sangat intens dan intim, seni rupa Bali mulai berubah kearah modern.
Interaksi persahabatan itu menimbulkan suasana saling memotivasi dalam proses kreatif dua sahabat itu selanjutnya. Rudolf Bonnet banyak memberikan pengetahuan tentang anatomi, komposisi warna dan teknik, sedangkan Walter Spies lebih banyak memberi pengaruh pada bidang flora yaitu pada bentuk pohon yang tumbuh di alam sehingga gaya lukisan lebih naturalistik, namun juga memberikan teori modern Barat, pemberian material seni rupa, bantuan pemasaran dan nasehat sesaat.[22] Hal ini kelak menandakan suatu perubahan tematik yang mendasar pada dunia seni lukis Bali.
Berikut di bawah ini dapat dilihat karya-karya dari dua pelukis Eropa di atas yang sudah mengadaptasikan lingkungan budaya sekitar Bali  melalui media lukisan dengan teknik melukis modern Barat.





Gambar 5. Karya Rudolf Bonnet “Arjuna Wiwaha” 1953, pastel pada kertas, 88 x 74 cm. (Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 2007, 68).








Gambar 6. Karya Walter Spies Die Landschaft und ihre Kinder” cat minyak pada papan,   62 x 91 cm. (M. Agus Burhan, 2008, 35).

Gerakan pembaharuan Pita Maha bimbingan Spies dan Bonnet menurut Jean Couteau menghasilkan puluhan seniman bermutu, terbagi dalam beberapa aliran pedesaan, yang mencakup baik seni patung maupun seni lukis antara lain : Aliran seni ukir "halus", aliran seni lukis Ubud, aliran seni lukis Batuan, aliran gaya Pita Maha juga berkembang Sanur dengan gaya lukisan yang terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari.[23]
Salah satu ideologi yang ditawarkan Spies dan Bonnet melalui Pita Maha adalah perluasan dalam horizon penciptaan. Jika sebelumnya pada ideologi seni lukis klasik Kamasan, tema lukisan seputar mitologi, kesucian dan spiritualitas, lalu oleh Pita Maha bahwa tema seni lukis Bali tidak harus berputar kepada mitologi, tidak semustinya terkungkung oleh kekhusyukan religi. Bahwa seni Lukis Bali seharusnya memiliki sifat individual sebagaimana kaum modernis Eropa dan Amerika menawarkan secara konsepsual. Dan bahwa seni lukis Bali boleh saja sekuler.[24]
Kelompok Pita Maha ini menghasilkan pelukis-pelukis “tradisional modern” seperti , Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus made Nadera, sampai Ketut Regig. Bahkan sebagian nampak “sangat modern” sebagaimana yang dipresentasikan oleh Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Regig dan Dewa Putu Bedil. Aktivitas Pita Maha praktis berhenti ketika perang dunia II meletus dan memaksa Rudolf Bonnet melarikan diri dari Bali akibat diusir bangsa Jerman dan Walter Spies wafat di laut Makasar akibat kapalnya di bom Jepang pada 1942.
Transformasi terjadi di dalam kontinuitas, denyut nafas Pita Maha sempat diperpanjang staminanya oleh kehadiran Golongan pelukis Ubud tahun1956, sempat disela oleh “ideologi” seni lukis lain seperti Young Artis di Penestanan asuhan Arie Smith tahun 1960. Pada generasi tahun 1980-an lahirlah era seni lukis pasca Bonnet yaitu Pita Prada. Munculnya aliran baru ini berusaha menyingkirkan bayang-bayang Pita Maha dengan cara mencari identitas personal dengan berguru kepada situasi dunia modern yang dipenuhi teknologi informasi.[25] Berikut beberapa karya-karya seniman Pita Maha.











Gambar 7. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1930-an, “The Children Distrub Mother Brayut”, Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 68).













Gambar 8. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1939, “Protection of The Barong” Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 67).







Gambar 9. Karya Anak Agung Gde Sobrat, 1970, “Bumblebee Dance”, tinta dan tempera di kanvas, 97 x 132 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 22).










Gambar 10. Karya I Gusti Ketut Kobot, 1953, “Coiled by the Serpent Lasso”, tinta dan tempera di kertas, 53 x 73 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 14).














Gambar 11. Karya Dewa Putu Bedil, 1975, “Ritual Flirtation Dance”, akrilik di kanvas, 85 x 135 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam, 2000, 21).

D. Kesimpulan
Dari deskripsi di atas, tampak selama abad ke-20 seni rupa Bali telah mengalami perubahan dengan masuknya kebudayaan luar terutama akibat intervensi penjajah Belanda. Akulturasi tersebut mengakibatkan perombakan besar-besaran pada sistem formal dan tematis melalui beberapa tahap. Perombakan itu berupa asimilasi langsung, atau tidak langsung dari elemen bahasa formal Barat, baik dalam ragam realis analitis maupun dalam aneka ragam modernisme sehingga melahirkan gerakan organisasi Pita Maha.
Jika melihat cikal bakal seni lukis Bali melalui seni lukis klasik yang hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan. Adapun seniman pada masa tersebut sebagai manipulator lambang dan fungsi agama, selain harus ditasbih dengan pembaiatan tersendiri, dapat dapat mulai berkarya tanpa mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif serta melakukan upacara kecil terkait. Pada sisi kebentukan formal, karya klasik memiliki tatanan estetis yang baku: ruang penuh, ikon, dan subikon terpatron dan terulang-ulang, warna stabil dan dibatasi kontur, garis terkekang narasi.
Apabila konsep seni lukis klasik Bali diperbandingkan dengan pencapaian pada gerakan Pita Maha telah terjadi perubahan penting pada tatanan seni rupa Bali, yakni dari sudut teknis, pengenalan media kertas, triplek dan kanvas membuka peluang stilistik yang baru. Tampak pada ukuran lukisan yang berubah; ider-ider, langse dan lukisan lainnya berukuran kecil, narasinya cenderung terfokus pada adegan tunggal. Dari sudut tematis, terjadi sekulerisasi dari representasi, tidak lagi memiliki fungsi religious dan mengandung nilai ekonomis. Objek mengambil kehidupan sehari-hari, alam, tarian dan ritual harian lainnya. Pengaruh pengetahuan modern yang kuat tampak pada terorganisirnya ruang dalam komposisi, mempertimbangkan perspektif dan anatomis. Figur wayang tidak mendominasi wujud formal.
Namun akulturasi yang terjadi pada gaya Pita Maha bersifat terbatas. Unsur local genius  yakni pada sisi landasan cerita dari epos Mahabrata, Ramayana, cerita Panji tetap menjadi daya tarik yang selalu disisipkan pada materi narasi karya seniman Pita Maha.

























CATATAN AKHIR

[1] Timbul Haryono, Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Solo Press, 2008), 100.
[2] Joseph Fischer, “Persoalan-persoalan dan Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali Modern”, dalam Joseph Fischer, Modern Indonesian Art: Three Generation of Tradition and Change 1945-1990 (Jakarta and New York: Panitia Pameran KIAS (1990-91) and Festival of Indonesia, 1990), 215.
[3] Timbul Haryono, “ Sekilas Tentang ‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa: Studi Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed., Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009), 2.
[4] R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Edisi ketiga yang diperluas (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2002), 23.
[5] Istilah tersebut memiliki pengertian sebagai kemampuan kebudayaan setempat (local) dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah suatu proses akulturasi (Noerhadi Magetsari, 1986).
[6] Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. R.M. Soedarsono  (Bandung: Arti.line MSPI, 2000), 242, baca lebih lanjut pada bab 7
mengenai Seni Plastis Bali: Tradisi Dalam Perubahan.
[7] Claire Holt, 245.
[8] Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History (London: The Free Press of Glencoe, 1964), 143-147.
[9] Willian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. R.G Sukadijo (Jakarta: Erlangga, 1988), 253.
[10] Eka Suprihadi dan Nunung Nurdjanti “ Vibrasi Seni Lukis Kamasan”, Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006, 41-42.
11 I Made Kanta, Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan (Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali, 1977/78), 9.
[12] Wiyoso Yudoseputro, “Seni Rupa Klasik” dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al., ed., Perjalanan Seni rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini  (Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991), 40.
[13] Jean Couteau, “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni Visual Indonesia : Paradigma dan Pasar (Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti, 2003), 106.
[14] Seni lukis klasik berkembang hampir di seluruh wilayah Bali. Gaya lukis seperti ini berkembang terutama di desa Kamasan, Klungkung sekitar abad XV, dan mendapatkan masa keemasan pada saat pemerintahan Dalem Watu Renggong. Oleh karena seni lukis di wilayah ini dianggap pengawal signifikan dari seni lukis tradisional Bali, maka ia sering dikategorikan sebagai seni lukis klasik.
[15] Agus Dermawan T., Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 tahun (Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2007), 7.
[16] M. Agus Burhan, “Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950 – 1979: Kontinuitas dan Perubahan”. (Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mei 2002), 51.
[17] Jean Couteau, 2003, 107.
[18] Adrian Vickers, Bali A Paradise Created (Singapura : Periplus Editions, 1996), 1-2.
[19] Periksa Miquel Covarrubias, Island of Bali (Singapore: Periplus Editions, 1973).
[20] Jean Couteau, 2003, 108.
[21] Adrian Vickers, 1996, 113.
[22] Jean Couteau, 2003, 108.
[23] Lebih lengkapnya periksa Jean Couteau, 2003, 108-110.
[24] Agus Dermawan .T, 2007, 12.
[25] Agus Dermawan T., “Pita Prada: Empat Puluh Tahun Setelah Pita Maha” dalam Agus Dermawan T., ed., Pita Prada Golden Creativity: Bienle Seni Lukis Tradisional Bali Pertama (Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2009), 27-28.



















KEPUSTAKAAN


Boskoff, Alvin. “Recent Theories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History. London: The Free Press of Glencoe, 1964.

Burhan, M. Agus. “Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950–1979: Kontinuitas dan Perubahan”. Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mei 2002.

Couteau, Jean “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni Visual Indonesia : Paradigma dan Pasar. Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti, 2003.

Covarrubias, Miquel. Island of Bali. Singapore: Periplus Editions, 1973.

Dermawan. T., Agus. Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 tahun. Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2007.

__________,ed. Pita Prada Golden Creativity: Bienle Seni Lukis Tradisional Bali Pertama. Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2009.

Fischer, Joseph.“Persoalan-persoalan dan Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali Modern”. dalam Joseph Fischer. Modern Indonesian Art: Three Generation of Tradition and Change 1945-1990. Jakarta and New York: Panitia Pameran KIAS (1990-91) and Festival of Indonesia, 1990.

Haryono, Timbul. Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Solo Press, 2008.

__________, “ Sekilas Tentang ‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa: Studi Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed., Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009.

Haviland, Willian A.  Antropologi, jilid. 2, terj. R.G Sukadijo. Jakarta: Erlangga, 1988.

Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. terj. R.M. Soedarsono. Bandung: Arti.line MSPI, 2000.

Kanta, I Made. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali, 1977/78.

Neka, Suteja. Pengantar Koleksi Lukisan Museum Neka. Ubud Bali: Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 1995.
__________. dan Garrett Kam. The Development of Painting in Bali. Ubud Bali: Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 2000.

Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Edisi ketiga yang diperluas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.

Suprihadi, Eka dan Nunung Nurdjanti “ Vibrasi Seni Lukis Kamasan”. Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006.

Vickers, Adrian. Bali A Paradise Created. Singapura : Periplus Editions, 1996.

Yudoseputro, Wiyoso. “Seni Rupa Klasik”. dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al. ed. Perjalanan Seni rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar