Transformasi Seni Rupa Bali
Pita Maha ‘Koalisi’ Estetis Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern
Oleh I Gede Arya Sucitra, S.Sn., M.A.
ABSTRACT
Balinese culture is the
result of local acculturation and culture that come from outside Bali so it can
be a variety of different styles and ornamental mixing can be seen in
architecture, dance, clothing to art apparently.
This paper wants to find
the spirit of transformation through reading art history art Balinese
aesthetics are present in the coalition concept of classical Balinese painting
with Western modern art movements compared with the achievement of the Pita
Maha significant changes have taken place in the framework of Balinese art,
from the technical point of , the introduction of paper media, plywood and canvas
that opened up new stylistic opportunities. From the point of thematic, there
secularization of representation, no longer has a religious function and
contains economic value. Strong influence of modern science seems at the
organization of space in the composition, perspective and anatomical
consideration. Wayang (shadow puppet) figures did not dominate formal form.
Keywords: Bali Art, Classical Art Kamasan, Puppet,
Acculturation, Pita Maha.
A. Pengantar
Pemahaman ragam budaya Bali yang kini berkembang tidak dapat dilepaskan
dari dinamika sejarah Bali masa lampau. Kesenian Bali bertautan erat dengan
upacara agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Semua
bentuk kesenin di Bali pada mulanya ada kecenderungan untuk menunjang dan mengabadikan
kehidupan upacara keagamaan Hindu di Bali. Begitu pula pada kehidupan seni
lukisnya yang juga memiliki andil besar terutama dalam upacara-upacara agama
Hindu di tempat-tempat pemujaan yang terdapat di seluruh pelosok daerah Bali.
Lukisan dianggap sebagai dasar dan bentuk ekspresi kesenian tinggi di Bali.
Karya seni tersebut menjadi artefak yang sangat berharga dalam kehidupan ritual
dalam tradisi Bali.
Budaya Bali sekarang adalah hasil akulturasi budaya lokal dan budaya yang
datang dari luar Bali sehingga dapat dilihat beragam gaya dan ornamentik dari
berbagai pencampuran tersebut dapat dilihat pada arsitektur, tarian, pakaian
hingga seni rupanya. Mengenai pencampuran kebudayaan ini seperti yang diungkapkan
Timbul Haryono bahwa kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa pada umumnya dapat
disebut maju atau berkembang, apabila di dalamnya terdapat anasir budaya baru.
Tumbuhnya anasir budaya baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu
karena ada penemuan ( invensi) atau karena ada pencampuran (akulturasi).[3]
Terjadinya proses akulturasi juga disebabkan oleh karakter masyarakat
penyangga kebudayaan tersebut, R.M. Soedarsono berpendapat bahwa masyarakat
Bali sangat dikenal sebagai masyarakat yang sangat terbuka, namun juga sangat
kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun setelah jatuh ke tangan seniman Bali
selalu lebih berciri Bali.[4]
Pada titik ini dapat dicermati bahwa dengan ‘keterbukakaan kreatifnya’
masyarakat Bali mampu menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan
dengan kekayaan lokal jenius[5]
setempat.
Beberapa ahli yang mengkaji hal ini, menegaskan bahwa unsur dari luar
menjadi faktor dominan dalam pembentukan budaya Bali. Dijelaskan oleh Claire
Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terjemahan R.M
Soedarsono bahwa penyebaran ini dibawa langsung oleh para pendeta atau biarawan
dari India, dan juga tercampur lewat kontak dengan kerajaan Hindu di Jawa. Hal
itu ditambah dengan kontak-kontak dengan Cina dan beberapa daerah di India
Belakang (Asia Tenggara) mungkin telah menyumbangkan pembentukan kebudayaan
Bali dan seninya.[6]
Sedemikian besar pengaruh kebudayaan Hindu Jawa pada kebudayaan Bali khususnya
dalam seni lukis.
Menurut data arkeologis, seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari
tatanan ideo-religius budaya agraris Hindu-Buddha yang berkembang di Bali sejak
paling sedikit abad ke-10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan
"ter-India-kan" yang pertama. Sementara seni lukis baru dikenal
sekitar abad ke-11, ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh
Raja Anak Wungsu memberikan tanda-tanda adanya kelompok yang mempunyai kelompok
yang mempunyai keahlian melukis. Dalam analisa Jean Counteau, seorang
antropolog dari Prancis, ragam budaya Bali pra-penjajahan merupakan pembauran
antara unsur pribumi lokal dengan aneka unsur Indo-Jawa, yang terutama masuk
menyusul invasi Majapahit tahun 1343.
Selanjutnya bentuk seni rupa di Bali mengalami perkembangan yang berbeda
dengan daerah di Jawa. Bentuk perubahan ini bersifat sebagai penyesuaian
terhadap karakter orang Bali yang ekspresif, dengan kasar dalam lelucon serta
bersungguh-sungguh; mewah dengan warna-warna emas dan terang: musiknya,
walaupun kaya dan melodis, adalah karakteristik eksplosif (meledak-ledak).[7]
Dalam pandangan Alvin Boskoff ada dua teori tentang perubahan sosial budaya,
yaitu teori-teori eksternal dan internal. Teori eksternal memandang bahwa inti
terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh adanya kontak antar-budaya berbeda,
sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari
dalam masyarakat itu sendiri.[8]
Untuk menguatkan pandangan di atas, William A. Haviland mengemukakan bahwa
mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan antara lain adalah
akulturasi.[9]
Seiring perkembangan kebudayaan dan pengaruh dari luar tersebut, maka
berkembang pula teknis penciptaan, bentuk, fungsi dan makna dari lukisan
tradisional Bali.
Pokok permasalahan tulisan ini akan melacak perkembangan dan menganalisa
proses akulturasi estetis antara seni lukis Bali klasik gaya Kamasan dengan
persentuhan pengetahuan seni rupa modern yang diperkenalkan pelancong Barat
yang masuk melalui proses kolonisasi penjajahan Belanda pada awal abad ke-20
sehingga selanjutnya akan ditemukan varian-varian turunan seni rupa di Bali dan
dengan segala perbedaan konsep, tema, material lukis hingga teknis
penciptaannya. Perpaduan ini kemudian melahirkan seni lukis Pitamaha yang
berkembang pesat pada era 1930-an di desa Ubud, Gianyar Bali.
B. Eksistensi Seni Rupa Klasik Bali
Untuk mengetahui perkembangan kesenian di desa Kamasan, dapat diamati pada
peninggalan artefak sebagai bukti perjalanan kebudayaan di desa tersebut.
Berdasarkan bukti arkheologis yang ditemukan seperti tahta-tahta batu, menhir,
lesung batu, palungan batu, monolith yang berbentuk silinder, batu dakon, lorong-lorong
jalan yang dilapisi batu kali, ditemukan tersebar di desa-desa Kamasan dan
sekitarnya seperti Tojan, dan Gelgel. Hal ini menandakan bahwa, komunitas di
sekitar Kamasan berumur cukup tua, serta menunjukkan juga bahwa ketrampilan
teknik tradisi megalithik telah mereka kenal sebelum kedatangan pengaruh Hindu.
Ketrampilan para undagi dan ke-pande-an yang
berasal dan tradisi megalithik ini telah diturunkan kepada generasi berikutnya.
Pada jaman Gelgel, oleh raja Gelgel ( Ida Dalem) para pande dimanfaatkan
untuk memproduksi benda-benda logam berukir seperti bokor, dulang, pinggan,
tempat minum dan benda-benda lainnya yang digunkan sebagai perlengkapan rumah
tangga, perhiasan maupun benda-benda perlengkapan Keraton Suweca
Linggaarsa Pura Gelgel. Selain seni ukir berkembang pula seni lukis wayang
sebagai hiasan di atas kain yang berupa bendera (Kober, umbul-umbul, lontek),
dan hiasan ( ider-ider, tabing dan parba).[10]
Lebih jelas lagi dengan adanya tulisan yang menyebutkan bahwa pada waktu
Dalem Ketut Semara Kepakisan (Raja Bali) setelah mengikuti upacara Sradda di
Majapahit pada tahun 1362 membawa sekeropak Wayang kesenian. Seni tari topeng
dan wayang disebut dengan istilah Parbhyang (Prasasti Benetin bertahun
Saka 818 atau 896 Masehi) dan juga istilah Aringgit (pada masa raja Anak
Wungsu, 1045-1071 Masehi).[11]
Istilah tersebut tidak jauh beda dengan istilah bahasa Jawa halus untuk wayang,
juga disebut Ringgit.
Pada salah satu prasasti itu terdapat goresan bermotif wayang yang
menggambarkan Batara Siwa. Perkembangan seni lukis ini selanjutnya terlihat
nyata pada naskah-naskah kuno yang berupa lontar-lontar. Kitab lontar biasanya
berisikan cerita legenda ataupun cerita wayang, dengan menggunakan ilustrasi
gambar yang selalu tampil indah. Gaya yang dipakai ialah seperti tampak pada
pahatan dinding candi zaman Majapahit, yaitu gaya wayang dengan komposisi
bidang datar yang padat dan sarat stilisasi.[12]
Gaya lukis pada lontar inilah yang rupanya menjadi cikal bakal perkembangan
seni lukis Bali klasik. Seni lukis yang dikenal pada waktu itu didominasi oleh
genre ‘wayang'; yaitu merupakan ilustrasi naratif baik cerita maupun
ikonografinya diturunkan langsung dari kesenian wayang.[13]
Seni lukis tradisional yang paling menonjol sampai saat ini di Bali adalah seni
lukis klasik gaya Kamasan.[14]
Pelukis-pelukis Kamasan biasanya anonim dan merupakan pusat kesenian
tradisional Bali yang berhubungan dengan pahlawan-pahlawan epos seperti Arjuna,
Rama, Abimanyu, dan Hanuman. Fokus dari lukisan mereka terutama
pemandangan-pendangan atau episode yang membawakan pesan-pesan orang suci,
keberanian, kekuatan, peperangan, pembaktian diri dan kebijaksanaan yang banyak
terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana. Fungsi dari seni lukis pada
waktu itu terutama untuk kepentingan adat, pura dan puri. Seni lukis
dipersembahkan untuk hiasan pura, ritual agama, balai adat, serta untuk
menghias tempat tinggal raja dan punggawa. Tema lukisan dari cuplikan epos
Ramayana, Mahabrata, cerita legenda setempat seperti Malat Panji, Cupak
Grantang, Calonarang serta sejumlah cerita tantri lainnya.[15]
Di wilayah Bali Aga di Karangasem, tepatnya di desa Julah, berkembang seni
lukis wayang yang bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan seni wayang
Kamasan. Di Ubud seni lukis klasik yang berkembang sangat menyerupai seni lukis
wayang Kamasan. Sekitar pertengahan abad ke-19 di desa Kerambitan berkembang
seni lukis wayang yang menampilkan bentuk dan ekspresi wajah yang kuat dengan
pemanjangan pada bentuk kaki dan tangan sehingga menjadi berbeda dengan gaya
Kamasan.
Lukisan tradisional/klasik
masih merupakan tradisi yang hidup di kalangan seniman-seniman di desa-desa
seperti Kamasan (Klungkung), Amlapura (Karangasem), Krambitan (Tabanan),
Nagasepaha (Buleleng), Bedahulu, Pengosekan, dan Sebatu (Gianyar).
Gambar
1. Lukisan gaya Kamasan, “Kematian
Abimayu”, akhir abad ke-19, bahan tradisional, 100x106 cm. (Suteja Neka dan
Garrett Kam, 2000, 13).
Gambar 2. Karya I Nyoman Mandra, 1972, “The Death
of Subali”, tinta Cina dan pewarna alami di kain, 71 x 46.5 cm. (Garrett
Kam,1993, 138).
Gambar 3. Gambar Palalintangan (ilmu perbintangan), karya I Gusti
Mangku Putu Kebyar, 1991. (Garrett KAM,1993, 35).
Gambar 4. Lukisan dari bagian Palalindon (ilmu mengenai gempa bumi) yang
merupakan bagian ilustrasi dari langit-langit Bale Kerta Ghosa, Klungkung. (Garrett
Kam,1993, 49).
Gelombang perubahan pada Seni Rupa Bali pada
dekade awal abad ke-20 memasuki dunia baru dengan kedatangan bangsa Barat yang
masuk lewat kolonisasi oleh Belanda. Bila dirunut lebih jauh masuknya pengaruh
bangsa asing dimulai dengan invasi Belanda di Bali, Belanda sejak awal abad
ke-19 berusaha menguasai Bali lewat ikatan-ikatan perjanjian dengan raja-raja
dan perorangan atas kekuasaannya. Setelah Belanda melakukan penaklukan
raja-raja di Bali pada tahun 1845 hingga 1908 yang kemudian membuka celah
perubahan seluruh landasan sosial politik seni rupa prakolonial Bali.[16]
Diberlakukannya politik ekonomi liberal sekitar
tahun 1870-an oleh pemerintah Hindia Belanda, mendorong kemakmuran bagi
kelompok masyarakat Belanda hal ini menimbulkan beberapa perubahan pada
kehidupan kesenian di Bali yang mengalami kecendrungan untuk lebih terbuka
dengan banyak hal baru yang dibawa bersama kedatangan bangsa asing.
Dampak penaklukan Bali oleh Belanda langsung terasa pada seni rupa. “Pasaran”
baru terbuka: produksi bertambah secara drastis melampaui permintaan religius
dan kuasi-religius prakolonial. Dan oleh karena "pasaran" tidak lagi
membutuhkan simbol-simbol
agama,
tema-tema langsung berubah. Selain itu, oleh karena bahan dan alat baru untuk
memperkaya teknik melukis dan efektivitas mulai beredar, dinamika stilistik
pada karya seniman pribumi dipercepat. Semakin Bali di-bali-kan. Semakin siap dikonsumsi.[17]
Evolusi seni rupa Bali dimulai di Buleleng (Bali
Utara), meski menyangkut segi yang sekunder. Pada awal abad ke-19 sudah dibuat
gambar dari kertas yang hanya berisi satu adegan saja dan bukan narasi lengkap
yang menampilkan serentet aneka adegan naratif. Pada akhir abad ke-19 di Singaraja, Van Der
Tuuk, seorang ahli linguistik Belanda, memesan beberapa gambar pada beberapa
informannya, dan gambar tersebut sudah memperlihatkan awal dari strukturasi
ruang, menggantikan penempatan unsur ikonik secara sejajar, baik horizontal
maupun vertikal. Pada awal abad ke-20 pematung-pematung Buleleng sudah menempatkan
unsur tematika baru misalnya orang bersepeda dalam ukiran relief
puranya. Hal-hal itu sudah memperlihatkan meresapnya unsur-unsur baru pada tatanan
seni rupa Bali.
Pada awal abad ke-20, akhir dasawarsa ’20-an,
serta dasawarsa ’30-an, ditengarai terjadi suatu fenomena unik, yaitu
intervensi langsung dari seniman Barat yang kelak akan memberikan corak
tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali selanjutnya. Mitos Bali sebagai
“surga” dengan berbagai macam sebutan eksotisnya seperti Adrian Vickers “ Bali:
Paradise Created” mengatakan sebuah pulau ‘surga terakhir’ yang memiliki
masyarakat artistik yang harmoni dengan alam, atmosfer hidup yang erotik,….pulau
tereksotik dari yang paling eksotik se Asia-Pasifik.[18]
Peneliti asing dan juga seorang pelukis, budayawan Meksiko, Miguel Covarrubias
juga melakukan penelitian yang sangat detail lengkap dengan ilustrasi gambar
tangan dan fotografi terutama mengenai pola hidup, kesenian hingga religi
masyarakat Bali dalam buku yang sangat melegenda yaitu “Island of Bali”.[19]
Daya pukau dari Bali yang
dieksotikkan oleh citra wisata kaum kolonial tersebut menarik penjelajahan
beberapa seniman asing mulai datang dan menetap, hidup dan berinteraksi dengan
para seniman lokal di Bali. Dan diantaranya yang paling terkenal dan berproses
kreatif bahkan menetap di Bali adalah figur Walter Spies warga Jerman
(1895-1942) dan Rudofl Bonnet warga Belanda (1895-1978)[20]
yang keduanya akan memainkan peran yang menentukan dalam evolusi seni Bali
selanjutnya. Spies datang ke Bali pada tahun 1927 yang disusul setahun kemudian
oleh Bonnet.
Spies dan Bonnet tinggal di
tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri Ubud, Gianyar. Di dalam situasi
tersebut dan sebagai seniman, mereka menyaksikan secara langsung perkembangan
seni komersial di atas kemerosotan mutunya. Maka lahirlah gagasan untuk
membangun dua lembaga yang mampu membantu mengembangkan kesenian Bali sesuai
bentuknya dan menjaganya dari kerusakan pengaruh turisme.
Hal pertama adalah membangun
museum Bali yang kini bernama Museum Puri Lukisan berlokasi di Ubud selain
sebagai tempat pelestari budaya Bali juga memilih karya-karya terbaik seniman
Bali. Kemajuan perupa Bali dibawah asuhan Walter Spies dan Rudolf Bonnet
memberikan inisiatif kepada tokoh budayawan dan seniman antara lain Cokorda Gde
Agung Sukawati, Walter Spies dan Rudolf Bonnet untuk membentuk perkumpulan
dengan nama Pita Maha yang didirikan pada tanggal 29 Januari 1936 di Ubud.
Mereka menyebutnya sebagai the spiritual
home of modern art.[21]
Figur Walter Spies dan Rudolf
Bonnet dianggap ‘guru’ oleh seniman Bali tradisional. Kedekatan antara mereka
dengan seniman lokal khususnya Gusti Nyoman Lempad yang merupakan tetangga dari
Walter Spies di desa Ubud, menciptakan suasana kreatif estetik. Dimulai dengan
pertemanan, lalu mulai melukis dari obyek yang bersamaan mereka mendapatkan
pengalaman-pengalaman baru. Seperti yang disampaikan oleh R.M. Soedarsono di
atas perihal karakter orang Bali yang sangat terbuka dan kreatif, proses
transfer ide dan gagasan dalam menilai karya seni antara seniman asing dan
seniman lokal terjadi sangat intens dan intim, seni rupa Bali mulai berubah
kearah modern.
Interaksi persahabatan itu
menimbulkan suasana saling memotivasi dalam proses kreatif dua sahabat itu
selanjutnya. Rudolf Bonnet banyak memberikan pengetahuan tentang
anatomi, komposisi warna dan teknik, sedangkan Walter Spies lebih banyak
memberi pengaruh pada bidang flora
yaitu pada bentuk pohon yang tumbuh di alam sehingga gaya lukisan lebih
naturalistik, namun juga memberikan teori modern Barat, pemberian material seni
rupa, bantuan pemasaran dan nasehat sesaat.[22]
Hal ini kelak menandakan suatu perubahan tematik yang mendasar pada dunia seni lukis
Bali.
Berikut di bawah
ini dapat dilihat karya-karya dari dua pelukis Eropa di atas yang sudah
mengadaptasikan lingkungan budaya sekitar Bali
melalui media lukisan dengan teknik melukis modern Barat.
Gambar 5. Karya Rudolf Bonnet “Arjuna Wiwaha” 1953, pastel
pada kertas, 88 x 74 cm. (Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 2007, 68).
Gambar 6. Karya Walter Spies “Die
Landschaft und ihre Kinder” cat minyak pada papan, 62 x 91 cm. (M. Agus Burhan, 2008, 35).
Gerakan pembaharuan Pita Maha bimbingan Spies dan
Bonnet menurut Jean Couteau menghasilkan puluhan seniman bermutu, terbagi dalam
beberapa aliran pedesaan, yang mencakup baik seni patung maupun seni lukis
antara lain : Aliran seni ukir "halus", aliran seni lukis Ubud,
aliran seni lukis Batuan, aliran gaya Pita Maha juga berkembang Sanur dengan
gaya lukisan yang terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari.[23]
Salah satu ideologi yang ditawarkan Spies dan
Bonnet melalui Pita Maha adalah perluasan dalam horizon penciptaan. Jika sebelumnya
pada ideologi seni lukis klasik Kamasan, tema lukisan seputar mitologi,
kesucian dan spiritualitas, lalu oleh Pita Maha bahwa tema seni lukis Bali
tidak harus berputar kepada mitologi, tidak semustinya terkungkung oleh
kekhusyukan religi. Bahwa seni Lukis Bali seharusnya memiliki sifat individual
sebagaimana kaum modernis Eropa dan Amerika menawarkan secara konsepsual. Dan
bahwa seni lukis Bali boleh saja sekuler.[24]
Kelompok Pita Maha ini menghasilkan
pelukis-pelukis “tradisional modern” seperti , Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus
made Nadera, sampai Ketut Regig. Bahkan sebagian nampak “sangat modern”
sebagaimana yang dipresentasikan oleh Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Regig dan
Dewa Putu Bedil. Aktivitas Pita Maha praktis berhenti ketika perang dunia II
meletus dan memaksa Rudolf Bonnet melarikan diri dari Bali akibat diusir bangsa
Jerman dan Walter Spies wafat di laut Makasar akibat kapalnya di bom Jepang
pada 1942.
Transformasi terjadi di dalam kontinuitas, denyut
nafas Pita Maha sempat diperpanjang staminanya oleh kehadiran Golongan pelukis
Ubud tahun1956, sempat disela oleh “ideologi” seni lukis lain seperti Young
Artis di Penestanan asuhan Arie Smith tahun 1960. Pada generasi tahun 1980-an
lahirlah era seni lukis pasca Bonnet yaitu Pita Prada. Munculnya aliran baru
ini berusaha menyingkirkan bayang-bayang Pita Maha dengan cara mencari
identitas personal dengan berguru kepada situasi dunia modern yang dipenuhi
teknologi informasi.[25]
Berikut beberapa karya-karya seniman Pita Maha.
Gambar 7. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1930-an, “The Children
Distrub Mother Brayut”, Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. (Suteja Neka
dan Garrett Kam, 2000, 68).
Gambar 8. Karya I Gusti Nyoman Lempad, 1939, “Protection of The
Barong” Tinta dan tempera di kertas, 24 x 33 cm. (Suteja Neka dan Garrett Kam,
2000, 67).
Gambar 9. Karya Anak Agung Gde Sobrat, 1970,
“Bumblebee Dance”, tinta dan tempera di kanvas, 97 x 132 cm. (Suteja Neka dan
Garrett Kam, 2000, 22).
Gambar 10. Karya I Gusti Ketut Kobot, 1953, “Coiled by the
Serpent Lasso”, tinta dan tempera di kertas, 53 x 73 cm. (Suteja Neka dan
Garrett Kam, 2000, 14).
Gambar 11. Karya Dewa Putu Bedil, 1975, “Ritual
Flirtation Dance”, akrilik di kanvas, 85 x 135 cm. (Suteja Neka dan Garrett
Kam, 2000, 21).
D. Kesimpulan
Dari deskripsi di atas, tampak selama abad ke-20
seni rupa Bali telah mengalami perubahan dengan masuknya kebudayaan luar
terutama akibat intervensi penjajah Belanda. Akulturasi tersebut mengakibatkan perombakan
besar-besaran pada sistem formal dan tematis melalui beberapa tahap. Perombakan
itu berupa asimilasi langsung, atau tidak langsung dari elemen bahasa formal
Barat, baik dalam ragam realis analitis maupun dalam aneka ragam modernisme
sehingga melahirkan gerakan organisasi Pita Maha.
Jika melihat cikal bakal seni lukis Bali melalui
seni lukis klasik yang hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama
turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan.
Adapun seniman pada masa tersebut sebagai manipulator lambang dan fungsi agama,
selain harus ditasbih dengan pembaiatan tersendiri, dapat dapat mulai berkarya
tanpa mempertimbangkan “dewasa” positif dan negatif serta melakukan upacara
kecil terkait. Pada sisi kebentukan formal, karya klasik memiliki tatanan
estetis yang baku: ruang penuh, ikon, dan subikon terpatron dan terulang-ulang,
warna stabil dan dibatasi kontur, garis terkekang narasi.
Apabila konsep seni lukis klasik Bali
diperbandingkan dengan pencapaian pada gerakan Pita Maha telah terjadi
perubahan penting pada tatanan seni rupa Bali, yakni dari sudut teknis,
pengenalan media kertas, triplek dan kanvas membuka peluang stilistik yang
baru. Tampak pada ukuran lukisan yang berubah; ider-ider, langse dan lukisan lainnya berukuran kecil, narasinya
cenderung terfokus pada adegan tunggal. Dari sudut tematis, terjadi
sekulerisasi dari representasi, tidak lagi memiliki fungsi religious dan
mengandung nilai ekonomis. Objek mengambil kehidupan sehari-hari, alam, tarian
dan ritual harian lainnya. Pengaruh pengetahuan modern yang kuat tampak pada
terorganisirnya ruang dalam komposisi, mempertimbangkan perspektif dan
anatomis. Figur wayang tidak mendominasi wujud formal.
Namun akulturasi yang terjadi pada gaya Pita Maha
bersifat terbatas. Unsur local genius yakni pada sisi landasan cerita dari epos
Mahabrata, Ramayana, cerita Panji tetap menjadi daya tarik yang selalu
disisipkan pada materi narasi karya seniman Pita Maha.
[1] Timbul Haryono, Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni
(Surakarta: ISI Solo Press, 2008), 100.
[2] Joseph Fischer, “Persoalan-persoalan dan
Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali Modern”, dalam Joseph Fischer, Modern Indonesian Art: Three Generation of
Tradition and Change 1945-1990 (Jakarta and New York: Panitia Pameran KIAS
(1990-91) and Festival of Indonesia, 1990), 215.
[3] Timbul Haryono, “ Sekilas Tentang
‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa: Studi
Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed., Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan Waktu,
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009), 2.
[4] R.M.
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di
Era Globalisasi, Edisi ketiga yang diperluas (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, 2002), 23.
[5] Istilah tersebut memiliki pengertian
sebagai kemampuan kebudayaan setempat (local)
dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu
berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah suatu proses
akulturasi (Noerhadi Magetsari, 1986).
[7] Claire Holt, 245.
[8] Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social
Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History (London: The Free Press of Glencoe, 1964),
143-147.
[9] Willian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. R.G Sukadijo (Jakarta: Erlangga,
1988), 253.
[10] Eka Suprihadi dan Nunung Nurdjanti “
Vibrasi Seni Lukis Kamasan”, Laporan
Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006, 41-42.
[12] Wiyoso Yudoseputro, “Seni Rupa Klasik”
dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al., ed., Perjalanan
Seni rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini (Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991),
40.
[13] Jean
Couteau, “Wacana Seni Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke
Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni
Visual Indonesia : Paradigma dan Pasar (Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti,
2003), 106.
[14] Seni lukis klasik berkembang hampir di
seluruh wilayah Bali. Gaya lukis seperti ini berkembang terutama di desa
Kamasan, Klungkung sekitar abad XV, dan mendapatkan masa keemasan pada saat
pemerintahan Dalem Watu Renggong. Oleh
karena seni lukis di wilayah ini dianggap pengawal signifikan dari seni lukis
tradisional Bali, maka ia sering dikategorikan sebagai seni lukis klasik.
[15] Agus Dermawan T., Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 tahun (Jakarta:
Panitia Bali Bangkit, 2007), 7.
[16]
M. Agus Burhan, “Seni Lukis Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
1950 – 1979: Kontinuitas dan Perubahan”. (Disertasi
untuk mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Mei 2002), 51.
[17] Jean Couteau, 2003, 107.
[18]
Adrian Vickers, Bali A Paradise Created (Singapura
: Periplus Editions, 1996), 1-2.
[19]
Periksa Miquel Covarrubias, Island of
Bali (Singapore: Periplus Editions, 1973).
[20] Jean Couteau, 2003, 108.
[21] Adrian Vickers, 1996, 113.
[22] Jean Couteau, 2003, 108.
[23] Lebih lengkapnya periksa Jean Couteau,
2003, 108-110.
[24] Agus Dermawan .T, 2007, 12.
[25] Agus Dermawan T., “Pita Prada: Empat Puluh
Tahun Setelah Pita Maha” dalam Agus Dermawan T., ed., Pita Prada Golden Creativity: Bienle Seni Lukis Tradisional Bali
Pertama (Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2009), 27-28.
KEPUSTAKAAN
Boskoff, Alvin. “Recent
Theories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History. London: The Free
Press of Glencoe, 1964.
Burhan, M. Agus. “Seni Lukis
Mooi Indie sampai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1950–1979: Kontinuitas dan
Perubahan”. Disertasi untuk
mendapatkan gelar Doktor Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Mei 2002.
Couteau, Jean “Wacana Seni
Rupa Bali Modern”, dalam Wicaksono, Adi dan Mikke Susanto, et al., ed., Aspek-aspek Seni Visual Indonesia :
Paradigma dan Pasar. Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti, 2003.
Covarrubias, Miquel. Island of Bali. Singapore: Periplus
Editions, 1973.
Dermawan. T., Agus. Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali
200 tahun. Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2007.
__________,ed. Pita Prada Golden Creativity: Bienle Seni
Lukis Tradisional Bali Pertama. Jakarta: Panitia Bali Bangkit, 2009.
Fischer,
Joseph.“Persoalan-persoalan dan Kenyataan-kenyataan dalam Kesenian Bali
Modern”. dalam Joseph Fischer. Modern
Indonesian Art: Three Generation of Tradition and Change 1945-1990. Jakarta
and New York: Panitia Pameran KIAS (1990-91) and Festival of Indonesia, 1990.
Haryono, Timbul. Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Solo Press, 2008.
__________, “ Sekilas
Tentang ‘Koalisi’ Antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tradisional di Jawa:
Studi Kasus Seni Pertunjukkan Wayang Kulit di Jawa”, dalam Timbul Haryono, ed.,
Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang dan
Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2009.
Haviland, Willian A. Antropologi, jilid. 2, terj. R.G Sukadijo.
Jakarta: Erlangga, 1988.
Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan Seni di
Indonesia. terj. R.M. Soedarsono. Bandung: Arti.line MSPI, 2000.
Kanta, I Made. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar:
Proyek Sasana Budaya Bali, 1977/78.
Neka, Suteja. Pengantar Koleksi Lukisan Museum Neka.
Ubud Bali: Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 1995.
__________. dan Garrett Kam. The Development of Painting in Bali.
Ubud Bali: Yayasan Dharma Seni Museum Neka, 2000.
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era
Globalisasi. Edisi ketiga yang diperluas. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002.
Suprihadi, Eka dan Nunung
Nurdjanti “ Vibrasi Seni Lukis Kamasan”. Laporan
Penelitian, ISI Yogyakarta, Program Hibah Bersaing A2 2006.
Vickers, Adrian. Bali A Paradise Created. Singapura :
Periplus Editions, 1996.
Yudoseputro, Wiyoso. “Seni
Rupa Klasik”. dalam Moctar Kusuma-Atmadja, et al. ed. Perjalanan Seni rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini.
Bandung; Panitia Pameran KIAS 1990-1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar